By Admin
from Pantau Gambut
[This page will be translated soon]

COP 30 di Brazil yang menjadi ajang diplomasi berbagai negara pada isu lingkungan, menjadikan pengelolaan hutan, laut, dan biodiversitas menjadi salah satu pilar strategis untuk dibahas. Pertemuan ini pun akan mempertegas aksi iklim global dari setiap negara yang menjadi delegasi. Sayangnya, realisasi janji pemerintah Indonesia untuk membuat emisi karbon menjadi nol dari sektor kehutanan (FOLU Net Sink), masih terlihat sangat jauh. Sektor yang diharap mampu menyerap lebih banyak emisi karbon ini, justru lebih banyak melepaskannya.

Analisis perbandingan data tahunan mengenai angka dan sebaran karhutla menunjukkan pola yang relatif konsisten. Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut mengidentifikasi sejumlah daerah terus menjadi episentrum karhutla dengan tingkat insiden yang tinggi. Dari total 308 ribu hektare AIT, Kalimantan Barat teridentifikasi sebagai provinsi dengan Area Indikatif Terbakar (AIT) terluas sepanjang periode Januari hingga September 2025, mencapai luasan 123.076 hektare. Bahkan, 78.267 hektare di antaranya terjadi di area yang masuk dalam rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.

Ekosistem gambut juga tidak luput dari permasalahan yang sama. Pantau Gambut menghitung jumlah area bekas terbakar (Burned Area) di lahan gambut pada bulan Juli dan Agustus yang mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi dua provinsi dengan ekosistem gambut terbakar paling luas. Parahnya, 56% karhutla di periode yang sama terjadi pada area berizin HGU Sawit dan PBPH.

Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut menyebutkan, “Fragmentasi kelembagaan menjadi sumber masalah yang masih berlarut. Padahal, sebuah ekosistem seperti gambut merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipilah secara administratif maupun sektoral.” Pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup (LH) dan Kementerian Kehutanan menjadikan kompleksitas koordinasi, birokrasi, dan tata kelola menjadi semakin kompleks.

Selain itu, tidak diperpanjangnya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga membuat upaya restorasi gambut menjadi semakin lemah. Madani Berkelanjutan mencatat, pasca Perpres No. 120 Tahun 2020, BRGM kehilangan kewenangan untuk melakukan monitoring dan supervisi di area konsesi dan wilayah yang justru berisiko tinggi terhadap kebakaran. Tanpa kewenangan tersebut, BRGM tidak dapat memastikan pemeliharaan infrastruktur restorasi di kawasan konsesi secara efektif. 

Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto menjelaskan, “Pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, yaitu membentuk lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda. Pola ini mencerminkan pendekatan ad-hoc yang mengandalkan logika kedaruratan ketimbang desain kelembagaan jangka panjang. Dalam konteks ini, BRGM bukan hanya gagal dilembagakan, tetapi sejak awal memang tidak didesain untuk bertahan.”

“Untuk mencapai target iklim, terutama dari sektor FOLU, maka kerja-kerja pemerintah tidak boleh sektoral. Semua harus bersinergi untuk memiliki visi yang sama, menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, apalagi di lahan gambut. Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, maka upaya mencapai target penurunan 31,89% emisi karbon tanpa syarat dan 43,20% dengan syarat, akan semakin berat bagi Indonesia. Ajang COP 30 Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” pungkas Sadam Afian Richwanudin, peneliti MADANI Berkelanjutan.

 

Support Us

Share this information with your family and friends.