Presiden Indonesia Joko Widodo dipinang Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) untuk mendapatkan gelar adat. Dalam keterangannya kepada media, Ketua Umum LAMR Al-Azhar menyebut Jokowi patut diberi sekalung budi sebagai tanda terima kasih masyarakat Riau.
“Memberikan ucapkan terima kasih, sekalung budi, tanda terima kasih masyarakat Riau dengan memberikan gelar kepada Presiden Joko Widodo dengan gelar Datuk Sri Setia Negara,†kata Datuk Al Azhar dikutip dari ANTARA.
Soal sekalung budi, dalam rilisnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAM Riau Datuk Seri Syahril Abubakar mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah berjasa bagi masyarakat adat Melayu Riau. Ia menyebut, selama hampir 17 tahun Riau yang kerap mendapat bencana asap, namun dengan kebijakan dan ketegasan Presiden Jokowi, telah membuat Riau bebas dari asap sejak tiga tahun terakhir.
Alasan lain penabalan gelar dari LAM Riau ini adalah soal Peraturan Presiden Nomor 89 tahun 2018 tentang Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) yang dikeluarkan Presiden Jokowi. Perpres ini telah memberi peluang bagi masyarakat adat Melayu Riau mengurus pengakuan tanah adatnya.
Pemberian gelar ini juga lantaran terbitnya Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. LAM Riau menilai kebijakan ini telah memberi peluang masyarakat Melayu Riau untuk berperan mengambil haknya kembali atas hutan-tanah ada yang telah diusahakan secara ilegal oleh pihak tertentu.
Tulisan ini tak hendak mencampuri urusan ini karena pemberian gelar adalah hak veto utuh dari institusi pemberi gelar. Namun karena penulis adalah bagian dari korban kebakaran hutan gambut, ada pertanyaan, apa benar masalah kebakaran hutan itu sudah selesai di Riau?
Kebakaran hutan Riau berlangsung menahun selama dua dekade jika dihitung sejak kebakaran besar 1997. Tahun 2018 ini, berita tentang kebakaran hutan ternyata masih tersiar meski tak sebesar kebakaran tahun 2015 dan 2016.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mengungkapkan sejak awal tahun hingga akhir November seluas 5.776 hektar hutan dan lahan gambut terbakar. Kebakaran yang paling besar terjadi di Rokan Hilir yakni seluas 1.985 ha. Di Kepulauan Meranti seluas 963 ha, Bengkalis 576 ha, dan Indragiri Hulu 576 ha. Sementara di Kota Dumai terbakar seluas 512 ha, Indragiri Hilir 458 ha serta Pelalawan 266 ha.
Kebakaran hebat di Rokan Hilir terjadi hanya beberapa pekan sebelum perhelatan internasional Asian Games, Agustus lalu. Bahkan pantauan udara Komandan Satgas Karhutla Riau, Brigjend TNI Sony Aprianto menyebut bentangan kebakaran di Rohil itu mencapai 17 kilometer. Geram dengan situasi ini, Danrem 031 Wirabima ini pun memerintahkan anggotanya untuk menembak di tempat para pembakar hutan gambut itu.
"Tahu berapa bentangan lurusnya, bukan luas, (tapi) panjangnya. 17 kilometer. Bayangkan. Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolda Riau. Saya juga sudah perintahkan Dandim, apa bila ada yang tertangkap bakar lahan dan hutan, langsung tembak saja di tempat," kata Sonny di Makorem sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan Indonesia 16 Agustus 2018.
Laporan media menyebut kebakaran hutan gambut di Rohil juga telah menghanguskan lebih dari 20 unit rumah dan pondok jaga warga di dua desa hangus terbakar, termasuk satu unit mobil dan beberapa sepeda motor. Tentu ini bukan kerugian yang sedikit.
Dengan fakta ini, untuk menyatakan bahwa sejak tigatahun terakhir Riau bebas asap dari kebakaran hutan, penulis pikir, tentu belum tepat. Sementara terkait dengan TORA dan instrumen kebijakan yang disebut telah membuka peluang bagi masyarakat di Riau untuk mengambil kembali mari kita lihat kegelisahan Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi Esman.
Di satu sisi, Isnadi mungkin satu pendapat dengan LAMR soal peluang yang dibuka oleh Presiden Jokowi bagi masyarakat untuk punya hak mengelola hutan dan lahan. Peluang ini terutama dalam skema Perhutanan Sosial (PS) dan TORA. Dengan target PS di Riau yang mencapai 1,4 juta ha, hingga akhir September tahun ini baru terealisasi 82 ribu ha atau hanya 6 persen. Target ini tentu jauh dari apa yang digadang-gadangkan pemerintah pusat.
Sementara 200 ribu hektar yang diusulkan puluhan ribu kepala keluarga di Riau tidak kunjung disahkan. Padahal ada di antara mereka yang sudah mengusulkan sejak 2016. Satu contohnya adalah Desa Rawa Mekar Jaya di Kabupaten Siak yang telah mengusulkan PS seluas 4.970 ha sejak 20 Desember 2016. Mereka telah melalui banyak mekanisme serta punya kegiatan melalui inisiatif lokal untuk memulai restorasi justru tidak ada perkembangan dari pemerintah pusat. Tindak lanjut pemerintah berhenti setelah tim lakukan verifikasi lapangan tanggal 16 Agustus 2017.
Sementara itu program TORA dengan melegalkan kepemilikan lahan seluas setengah juta hektar hingga saat ini juga masih pro-kontra. Proyek besar Jokowi melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk membereskan kekusutan akut Taman Nasional Tesso Nilo melalui kebijakan TORA ternyata tidak ada perkembangan berarti. Kini TNTN hanya tersisa 17 ribu dari total kawasan intinya seluas 81 ribu hektar. Selebihnya sudah diduduki secara ilegal hampir dua dekade dan kini bersalin rupa dari hutan menjadi kebun sawit.
Karenanya, penulis berpikir bahwa keberhasilan Presiden Jokowi terhadap penuntasan masalah-masalah kehutanan di Riau rasanya, kok masih kurang pas. Tapi tentu saja kita harus jujur bahwa ada prestasi Jokowi dalam menerbitkan sejumlah regulasi-regulasi baru. Dan ini selangkah lebih maju dibandingkan pemimpin sebelumnya.
Selain itu, kiranya perlu dan penting ada kesepahaman soal ukuran-ukuran kesuksesan Sang Presiden terhadap penanggulangan kebakaran hutan di Riau, juga penyelesaian masalah kehutanan lainnya.
Pantau Gambut menilai bahwa poin penting perlindungan gambut adalah landasan dari penanggulangan kebakaran hutan itu sendiri. Mengerahkan bermiliar rupiah untuk memadamkan api lalu apinya padam, itu jelas bukanlah kesuksesan. Mau sampai kapan? Pun jika semua pihak yang menggantungkan hidup dan bisnisnya di atas gambut tidak taat pada peraturan, termasuk perusahaan perkebunan dan kehutanan.
Fakta ironi lainnya adalah bahwa menurut DPRD Riau, setidaknya ada lebih dari 1 juta hektar kebun sawit yang illegal di tanah Melayu. Jika keberadaannya di atas gambut, maka tentu kontribusinya akan sangat besar untuk kembali tersulut kebakaran. Soal legalitas kebun 1,8 juta hektar ini harus diperjelas oleh pemerintah daerah dan pusat dengan rencana aksi untuk mengatasinya.
Akhirnya jika perlindungan gambut tidak berjalan, jika legalitas sawit 1,8 juta hektar itu dibereskan, maka penulis percaya, Riau tidak akan pernah nol kebakaran hutan. Kebijakan-kebijakan bagus itu harus dibuktikan berjalan di lapangan. (*)
Sumber berita Antara News