By Iola Abas
from Pantau Gambut
[This page will be translated soon]
Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 30 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan
Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 30 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan

Betapa sulitnya warga Indonesia bisa melepaskan diri dari ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Dalam satu bulan saja, Pantau Gambut mendeteksi 11.287 titik api, jumlah yang meningkat lebih dari lima kali lipat dari Juni hingga Juli 2025, di 303 kesatuan hidrologis gambut (KHG). Perpaduan jumlah dan waktu ini tidak lazim mengingat pemerintah kerap menyalahkan cuaca ekstrem sebagai penyebab utama karhutla, terutama pada periode puncak Juni-Juli.

Kemarau tahun ini seharusnya menjadi musim kering yang lebih bersahabat dibanding pada 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan kemarau tahun ini disertai curah hujan yang lebat hingga sangat lebat, berbeda dengan 2023 ketika Indonesia dilanda El Niño parah. Namun jumlah titik api pada Juli tahun ini lebih banyak empat kali lipat dibanding pada Juli 2023.

Perbandingan ini menunjukkan masalah karhutla jauh lebih kompleks daripada sekadar faktor alam. Ini merupakan krisis yang berakar pada penanganan kerusakan ekosistem gambut yang tidak sistematis dan menahun. Indonesia memang sudah terbebas dari penjajahan negara lain selama 80 tahun, tapi warisan ancamannya tidak sepenuhnya hilang karena kerusakan lingkungan. 

Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 25 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan
Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 25 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan

Realitas di Lapangan

Krisis ini bukan fenomena tunggal, melainkan akumulasi permasalahan di tingkat lokal. Setiap wilayah memiliki tantangan yang berbeda, tapi semuanya bermuara pada lemahnya pencegahan dan gagalnya penegakan hukum. Alih-alih berinvestasi untuk melakukan pencegahan agar karhutla tidak terjadi, pemerintah justru memilih menyibukkan diri setiap asap sudah meninggi.

Di Aceh, Masyarakat Peduli Api (MPA), kelompok sukarelawan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pengendalian kebakaran, dibiarkan bekerja tanpa panduan yang jelas. Akibatnya, mereka sulit mengendalikan penyebaran api.

Di Riau, fasilitas restorasi gambut yang sangat dibutuhkan banyak yang mangkrak. Padahal provinsi ini paling sering menjadi sorotan publik akibat mengalami karhutla setiap tahun. 

Proyek-proyek pemerintah yang seharusnya mengembalikan kondisi lahan gambut menjadi basah dan sehat justru terbengkalai. Dampaknya meluas, termasuk meningkatnya konflik antara manusia dan satwa liar, seperti gajah dan harimau. Satwa-satwa ini terpaksa keluar dari hutan dan masuk ke area permukiman akibat habitat yang rusak.

Di Kalimantan Tengah, meski Manggala Agni sudah melakukan pemantauan, tidak ada tindak lanjut serius pada area-area yang mengalami kebakaran berulang. Lemahnya respons ini memberi sinyal bahwa pelaku dapat beraksi kembali tanpa konsekuensi. 

Sanksi yang tidak memberikan efek jera juga terjadi di Kalimantan Barat. Perusahaan yang pernah disegel, bahkan dihukum akibat kasus karhutla di pengadilan, kembali terlibat dalam pelanggaran serupa.

Saat degradasi gambut makin parah, bukan hanya terjadi karhutla saat kemarau, melainkan juga banjir saat musim hujan. Gambut yang rusak ini tidak lagi mampu menyerap air, seperti yang terjadi di Jambi dan Kalimantan Selatan ketika ancaman banjir silih berganti dengan karhutla.

Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 30 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan
Kebakaran di lahan gambut Desa Gambut Jaya, Muaro Jambi, Jambi, 30 Juli 2025. Antara/Wahdi Septiawan

Akar Masalah Lebih Dalam dari Sekadar Cuaca

Fakta-fakta di atas menegaskan bahwa krisis karhutla bukan semata-mata akibat kondisi cuaca. Ada kekosongan undang-undang khusus tentang gambut. Meski Indonesia sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 juncto PP 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, regulasi ini rentan dianulir oleh regulasi dengan kedudukan lebih tinggi, seperti UU Cipta Kerja.

Kerentanan ini dapat dilihat dari masih adanya pembukaan lahan gambut di zona lindung. Di Kabupaten Muaro Jambi, Pantau Gambut mendeteksi 287 titik panas di hamparan gambut lindung sedalam tujuh meter dalam konsesi PT Sumbertama Nusa Pertiwi. 

Pola pembakaran yang rapi mengarah pada dugaan kuat adanya pembersihan lahan yang disengaja. Temuan ini menunjukkan zona lindung gambut yang memiliki fungsi vital masih dibakar.

Pada akhirnya, arti kemerdekaan bagi bangsa ini patut dipertanyakan. Apa artinya merdeka jika kita masih terpenjara oleh asap buatan sendiri? Kemerdekaan bukan hanya tentang bendera yang berkibar, tapi juga memastikan udara bersih, air yang jernih, dan tanah yang subur bagi seluruh rakyat. 

Namun selama kebijakan dan penegakan hukum hanya formalitas serta keuntungan jangka pendek lebih diutamakan, ancaman karhutla ini akan terus menjadi masalah yang belum terselesaikan, bahkan setelah delapan dekade kemerdekaan.

 

Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Kolom Hijau Tempo pada tanggal 13 September 2025

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan yang terbit setiap pekan. 

Support Us

Share this information with your family and friends.