Questioning the Root Cause of Peat Fires in Concession Areas
By Agiel Prakoso dan Rahmah Devi HapsariSebagai bagian dari ekosistem lahan basah, pada hakikatnya gambut memang harus tergenang air. Namun, saat degradasi lahan gambut terjadi, kemampuannya untuk menyerap air akan jauh berkurang. Fenomena irreversible drying ini yang menyebabkan genangan air menjadi limpasan yang tidak terkontrol dan justru menciptakan daya rusak kepada lingkungan sekitarnya.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi, Kampanye, dan Komunikasi Pantau Gambut menjelaskan, “Banjir yang terjadi bukanlah siklus alami yang umum terjadi pada ekosistem gambut. Banjir ini disebabkan oleh degradasi lahan gambut akibat ketidaksesuaian peruntukan fungsi ekosistem gambut.” Baik manusia maupun keanekaragaman hayati yang ada, semua yang hidup pada ekosistem ini menjadi terdampak.
Provinsi yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla), faktanya juga masuk ke dalam daftar wilayah dengan kerentanan banjir. Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan menjadi tiga wilayah teratas dengan keretanan banjir terluas. Jika ditotal secara keseluruhan, setidaknya 25% KHG di Indonesia mengalami kerentanan tinggi terhadap banjir, diikuti 18% dengan kerentanan sedang, dan 57% kerentanan rendah.
Area yang terdampak bukan hanya wilayah yang memiliki gambut pedalaman. Rusaknya gambut juga menyebabkan penurunan muka tanah (subsidens) secara signifikan pada wilayah pesisir. Lahan gambut yang dulunya berfungsi sebagai penahan alami terhadap intrusi air laut, kini justru memperparah masalah banjir rob. Selain risiko banjir yang meningkat, cadangan air tawar juga berkurang akibat meresapnya air laut ke dalam air tanah (intrusi).
Terdapat tiga poin penting yang menjadi fokus advokasi Pantau Gambut: